Jihad Perang Adalah Perbuatan Baik Tapi Jihat Melawan Hawa Nafsu Lebih Baik
Jihad Perang Adalah Perbuatan Baik Tapi Jihat Melawan Hawa Nafsu Lebih Baik
Sebagai umat Muslim, yang paling diinginkan tentu meninggal dalam keadaan husnul khatimah atau berakhir baik. Salah satunya dengan mati syahid atau meninggal di jalan Allah. tidak banyak yang bisa mati dalam keadaan husnul khatimah. dan Orang yang gugur di medan perang termasuk syahid.
Meninggal dalam perang mungkin salah satu cara paling cepat untuk mati syahid Namun untuk ikut berperang tidak lah mudah apa lagi di jaman sekarang ini, Palestina memang negara yang sedang perang namun bisa ikut bergabung menjadi pejuang di Palestina tidak lah semudah itu dan bahkan untuk saat ini negara punya banyak syarat untuk bisa memberangkat bagi mereka yang bersedia menjadi mujahidin di palestina pada saat ini yang paling banyak di galakkan adalah memberikan sumbangan berupa uang yang di kumpulkan untuk membeli bahan pangan saudara kita yang berperang di atau masyarakat sipil yang mungkin kelaparan di sana.
Jihad yang lebih besar daripada pertempuran seperti dalam perang Badar adalah jihad melawan hawa nafsu. Berperang melawan kehendak diri sendiri. Inilah yang disebut sebagai seagung-agungnya peperangan. Sebab pertempuran sejati bukan ada di luar, tapi di dalam diri sendiri.
Al-Munawi dalam Faidhul Qadīr Vol 2 memberi komentar panjang lebar tentang sabda Rasulullah tersebut. Menurutnya, memerangi nafsu lebih utama dibanding memerangi orang-orang kafir, munafik, dan penjahat. Hal itu karena sesuatu dapat menjadi utama dan tinggi nilainya dengan melihat pengaruhnya. Dampak memerangi nafsu adalah diperolehnya hidayah.
Allah berfirman dalam surat al-Ankabut ayat 69, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh menaati Kami, akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju Kami”.
Ayat tersebut cukup jelas menerangkan tentang kemuliaan memerangi nafsu. Dan pada surat al-Hajj ayat 78, Allah kembali menegaskan, “Dan berjuanglah dalam ketaatan kepada Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan.”
Dalam khazanah kebudayaan Jawa, rekaman peperangan abadi melewan nafsu dilukiskan di balik rangkaian aksara Jawa hana caraka datasawala pada jayanya maga batangna. Rangkaian aksara itu diyakini secara filosofi mengandung dua hal, yakni baik dan buruk, yang saling satu sama lain silih berganti memenangkan peperangan. Pertempuran itu berakhir ketika si empunya meninggal menjadi mayat atau batang dalam istilah Jawa.
Contoh lain tentang ikhtiar melawan nafsu adalah kisah K.H. Bisri Syansuri. Ulama yang juga salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini memegang teguh prinsip yang diyakininya. Sejak muda Kiai Bisri tidak berkenan makan di warung. Ia menghindari potensi kehadiran orang lapar yang lewat di depan warung dan ingin makan di warung itu, tapi tersiksa karena tak memiliki uang.
Kiai Bisri memang terkenal sebagai sosok yang kokoh dalam memegang prinsip. Sekali prinsip digenggam, pantang bagi Kiai kelahiran Tayu, Jawa Rengah, ini melanggarnya.
Ujung Pedang dan Haji Nirfaedah
Nafsu juga kerap hadir di wilayah ubudiyah seorang hamba, dan ini lebih berbahaya.
Dalam perang Khandaq, Sayyidina Ali karramallahu wajhah berhasil merobohkan seorang lawannya. Saat sudah terkapar tak berdaya, lawannya itu meludahi muka Ali, tapi ia tak kunjung menghunuskan pedang.
“Mengapa kau tidak menghunuskan pedangmu wahai lelaki gagah?”
“Kau menjadi sangat mulia bagiku. Aku hanya diperkenankan Allah untuk membunuh di momen-momen perang suci yang didasari niat lillahi ta’ala. Namun, sejak kau meludahiku, tampaknya amarahku tumbuh. Dan aku tidak diperkenankan membunuh atas amarah dan rasa benci,”
jawab Ali.
Kisah Muhammad Al-Tairsyi juga tidak kalah unik. Sufi dari distrik Naisapur ini tersadar bahwa ibadah hajinya yang ia lakukan saban tahun tidak ada artinya karena motivasinya tidak murni karena Allah. Ada motivasi lain yang menjadikan ia terlalu bersemangat menunaikan ibadah.
Suatu saat ia disuruh ibunya mengambilkan segelas air minum. Muhammad Al-Tairsy merasa enggan dan malas. Meskipun akhirnya ia tetap mengambilkan segelas air, namun peristiwa itu menjadi titik balik kesadarannya bahwa setan telah menyelinap ke dalam hatinya.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Jihad yang lebih besar daripada pertempuran seperti dalam perang Badar adalah jihad melawan hawa nafsu. Berperang melawan kehendak diri sendiri. Inilah yang disebut sebagai seagung-agungnya peperangan. Sebab pertempuran sejati bukan ada di luar, tapi di dalam diri sendiri.
Al-Munawi dalam Faidhul Qadīr Vol 2 memberi komentar panjang lebar tentang sabda Rasulullah tersebut. Menurutnya, memerangi nafsu lebih utama dibanding memerangi orang-orang kafir, munafik, dan penjahat. Hal itu karena sesuatu dapat menjadi utama dan tinggi nilainya dengan melihat pengaruhnya. Dampak memerangi nafsu adalah diperolehnya hidayah.
Allah berfirman dalam surat al-Ankabut ayat 69, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh menaati Kami, akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju Kami”.
Ayat tersebut cukup jelas menerangkan tentang kemuliaan memerangi nafsu. Dan pada surat al-Hajj ayat 78, Allah kembali menegaskan, “Dan berjuanglah dalam ketaatan kepada Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan.”
Dalam khazanah kebudayaan Jawa, rekaman peperangan abadi melewan nafsu dilukiskan di balik rangkaian aksara Jawa hana caraka datasawala pada jayanya maga batangna. Rangkaian aksara itu diyakini secara filosofi mengandung dua hal, yakni baik dan buruk, yang saling satu sama lain silih berganti memenangkan peperangan. Pertempuran itu berakhir ketika si empunya meninggal menjadi mayat atau batang dalam istilah Jawa.
Contoh lain tentang ikhtiar melawan nafsu adalah kisah K.H. Bisri Syansuri. Ulama yang juga salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini memegang teguh prinsip yang diyakininya. Sejak muda Kiai Bisri tidak berkenan makan di warung. Ia menghindari potensi kehadiran orang lapar yang lewat di depan warung dan ingin makan di warung itu, tapi tersiksa karena tak memiliki uang.
Kiai Bisri memang terkenal sebagai sosok yang kokoh dalam memegang prinsip. Sekali prinsip digenggam, pantang bagi Kiai kelahiran Tayu, Jawa Rengah, ini melanggarnya.
Ujung Pedang dan Haji Nirfaedah
Nafsu juga kerap hadir di wilayah ubudiyah seorang hamba, dan ini lebih berbahaya.
Dalam perang Khandaq, Sayyidina Ali karramallahu wajhah berhasil merobohkan seorang lawannya. Saat sudah terkapar tak berdaya, lawannya itu meludahi muka Ali, tapi ia tak kunjung menghunuskan pedang.
“Mengapa kau tidak menghunuskan pedangmu wahai lelaki gagah?”
“Kau menjadi sangat mulia bagiku. Aku hanya diperkenankan Allah untuk membunuh di momen-momen perang suci yang didasari niat lillahi ta’ala. Namun, sejak kau meludahiku, tampaknya amarahku tumbuh. Dan aku tidak diperkenankan membunuh atas amarah dan rasa benci,”
jawab Ali.
Kisah Muhammad Al-Tairsyi juga tidak kalah unik. Sufi dari distrik Naisapur ini tersadar bahwa ibadah hajinya yang ia lakukan saban tahun tidak ada artinya karena motivasinya tidak murni karena Allah. Ada motivasi lain yang menjadikan ia terlalu bersemangat menunaikan ibadah.
Suatu saat ia disuruh ibunya mengambilkan segelas air minum. Muhammad Al-Tairsy merasa enggan dan malas. Meskipun akhirnya ia tetap mengambilkan segelas air, namun peristiwa itu menjadi titik balik kesadarannya bahwa setan telah menyelinap ke dalam hatinya.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Tidak ada komentar: